Ekonomi Indonesia dibayangi serangkaian sentimen negatif pada pekan ini. Mulai dari rupiah melemah, kebijakan tarif Impor Amerika Serikat (AS), ekspor batu bara terancam, hingga arus modal keluar.
Ekonom Kisi Asset Management Arfian Prasetya Aji mengatakan, Nilai tukar Rupiah kembali tertekan pekan lalu, anjlok 0,7% ke Rp16.578 per USD pada Jumat (28/2), menyentuh titik terendah sejak April 2020. Pelemahan ini dipicu oleh kebijakan tarif impor dari Kanada dan Meksiko yang resmi berlaku pekan ini.
Menanggapi kondisi ini, Bank Indonesia (BI) bergerak cepat dengan melakukan intervensi pasar guna menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing. Pelemahan Rupiah juga diperparah oleh tekanan eksternal seperti kebijakan perdagangan AS serta ketidakpastian arah suku bunga The Fed. Sentimen negatif ini mendorong arus keluar modal asing sebesar Rp10,33 triliun dalam sepekan terakhir.
“Namun, pada Senin (4/3/2025), Rupiah mulai pulih ke Rp16.444 per dolar AS,” ungkap Arfian dalam risetnya, Rabu (5/3/2025).
Di sektor energi, Arfian mengatakan, kebijakan Harga Batu bara Acuan (HBA) terbaru mendapat penolakan dari sejumlah pembeli batu bara asal China. Eksportir Indonesia pun meminta masa transisi enam bulan agar bisa beradaptasi dengan aturan baru ini.
Menurut Arfian, HBA baru ini bertujuan meningkatkan kendali Indonesia atas harga ekspor batu bara sekaligus menjaga stabilitas harga domestik. “Namun, keputusan ini bisa berdampak buruk bagi permintaan China, dengan potensi pembatalan atau renegosiasi kontrak yang berujung pada anjloknya volume ekspor dan pendapatan industri batu bara Indonesia,” tambah Arfian.
Di sisi lain, Arfian menambahkan, BI memberikan dukungan penuh terhadap program perumahan terjangkau yang dicanangkan Presiden Prabowo dengan menyediakan likuiditas sebesar Rp 130 triliun. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat melalui sektor perumahan.
BI memastikan dukungannya dalam tiga bentuk utama, yaitu menjaga agar program Asta Cita berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang stabil, menyediakan insentif likuiditas bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor perumahan, dan membantu pendanaan dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
“Peningkatan likuiditas ini diharapkan dapat mempercepat penyaluran kredit ke sektor perumahan, yang akan berdampak positif bagi industri pendukung seperti semen, baja, dan konstruksi,” paparnya.
Namun, Arfian menilai, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai independensi BI. Beberapa investor khawatir keterlibatan BI yang terlalu dalam dalam kebijakan pemerintah dapat merusak kredibilitasnya sebagai otoritas moneter independen. “Jika kekhawatiran ini meningkat, bukan tidak mungkin terjadi arus modal keluar yang berpotensi mengganggu stabilitas keuangan Indonesia,” tutupnya.
Source: https://investor.id/macroeconomy/391287/ekonomi-ri-dibayangi-ramainya-sentimen-negatif/2